Baru Pulang (A Short Story)

Baru Pulang (A Short Story)

Posted by Jane Reggievia on 2020-09-15T10:54:00.001+07:00
Photo by Jessica Newendyke on Unsplash

Kalau ditanya, momen apa yang sulit dilupakan sepanjang hidup kamu? Jawabannya, BANYAK. 

Namun, kalau dipersempit pertanyaannya menjadi, momen apa yang sulit dilupakan selama 10 tahun terakhir, jawabannya ada di tahun 2013, tepatnya di bulan Juli. 

Tahun 2013, ketika lulus kuliah dari Guangzhou, orangtuaku memutuskan untuk melanjutkan hidup di Pulau Dewata, di mana sebelumnya adikku sudah tinggal lebih dulu di sana untuk menempuh pendidikan sarjananya. Bukan suatu keputusan yang sederhana tentunya, bahkan aku tau persis gimana rasanya kedua orangtuaku merasa kalut harus meninggalkan kehidupan mereka di Jakarta dan memulai lembaran baru, di tempat yang baru. 

Sebetulnya waktu itu aku punya dua pilihan: Pertama, tetap tinggal dan bekerja di Jakarta, namun harus nge-kost, karena rumah sudah nggak ada. Kedua, ikut for good ke Bali dan memulai segalanya yang baru di sana. Pilihan pertama hampir nggak aku pertimbangkan, karena nggak kuat kalau harus tinggal jauh lagi dengan keluarga. Empat tahun udah cukup, masa mau jauh-jauhan lagi? ): *iya gengs, aku anak papa mama banget*. 

Sebagai anak muda *cailah* berusia 21 tahun waktu itu, ini keputusan yang sulit. Sebelumnya aku sudah dihadapi kegalauan tentang "mau jadi apa setelah lulus nanti", lah ini sekarang harus memilih mau tinggal di mana. Orang-orang di luar sana pastilah menjawab, "Yah ke Bali lah! Kapan lagi lo bisa ke pantai kapan pun lo mau?". Terkadang memang orang hanya mengingat "enaknya" saja, lupa kalau ingin bersenang-senang butuh duit, di mana sumbernya, ya, harus cari pekerjaan. 

Selama ini aku hanya tau Bali itu destinasi liburan dan honeymoon. Tinggal di Bali?? Tentu nggak pernah kubayangkan. Mau kerja apa di sana? Masyarakatnya seperti apa? Dan masih banyak pertanyaan lainnya yang belum sempat aku pikiran matang-matang, eh tau-tau udah harus naik pesawat menuju Bandara Ngurah Rai. 

Berangkat dari kegalauan ini lah, aku menulis sebuah jurnal pribadi dengan format cerita pendek berdasarkan apa yang aku rasakan saat harus meninggalkan kota Guangzhou yang menjadi rumah singgah selama empat tahun, dan kemudian harus menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di rumah yang baru, Bali. 

Abaikan gaya menulisku yang mungkin sedikit kacau. Jarang nulis cerpen soalnya. Namun, tulisan ini selalu mengingatkan aku rasanya saat kembali ke rumah ❤


BARU PULANG
Jane Reggievia

Aku menghapus air mataku dengan susah payah sambil menyodorkan paspor dan boarding pass kepada dua petugas yang berdiri di depan pintu masuk imigrasi. 

“Jane!”

“Jangan menengok lagi, nanti makin sedih lho,” sebuah suara terdengar lebih cepat sebelum aku membalikkan badan untuk menjawab panggilan tersebut. Petugas itu tersenyum penuh arti sembari memeriksa boarding pass milikku. Kok dia tahu ini adalah sebuah perpisahan? 

Aku pun tertawa. Temannya yang berdiri di sampingnya pun ikut tersenyum. Namun, aku tetap membalikkan badanku, dan melambaikan tanganku terakhir kalinya pada teman-temanku yang masih harus tinggal di Guangzhou. 

Safe trip,” ujar petugas itu kembali, yang kusambut dengan senyuman. 

Empat tahun aku menghabiskan masa kuliah di negeri tirai bambu. Aku masih ingat ketika hari pertama aku berangkat, rasa berat hati yang mengantarku sampai ke negeri ini. Ironisnya, dengan sikap hati yang sama aku harus meninggalkan tempat ini. Bukan kah harusnya aku senang? 

Sambil menunggu antrian di imigrasi, tanganku sibuk menghapus sisa air mata yang membekas di pipi. Aku nggak mau dikira anak kecil cengeng yang berpergian sendiri tanpa pengasuh. Perlahan kurasakan mataku mulai sembab. 

Tiba-tiba lampu notification Blackberry-ku berkedip. Ada beberapa pesan masuk dari orang yang berbeda-beda. Ada dari papa dan mama (ya, mereka mengirimkan pesan yang berbeda) yang berpesan supaya hati-hati, jangan sampai ketinggalan paspor dan sebagainya. Mereka mengatakan itu karena bisa saja itu terjadi karena kecerobohanku. Mereka juga mengatakan tidak sabar untuk berjumpa denganku kembali. Ada dari pacarku, dia juga berpesan yang sama, dia juga tidak sabar untuk berjumpa denganku. Namun nyatanya kami harus menunggu beberapa waktu kembali untuk bertemu, karena sesampai di Indonesia, kami masih harus menjalani long distance relationship. Ada pula dari salah satu teman baikku, dia berpesan seperti, “Jangan galau di pesawat!”—dan langsung membuatku tertawa sambil membatin dalam hati, "Tau aja, sih, lo!". Aku mendongak ke depan barisan, ternyata sebentar lagi giliranku. Buru-buru kumasukkan kembali Blackberry-ku ke dalam tas. Nanti saja kubalas pesan mereka satu per satu setelah berada di boarding room.

Sambil berjalan menuju ruang tunggu, jantungku mulai berdetak tidak teratur. Ini bukan kepulangan yang pertama, namun rasanya bukan seperti mau pulang. Karena tempat pulang kali ini, hatiku tidak berada di sana. Mungkin belum, mungkin hatiku mau menerimanya, tapi tidak tahu juga. 

Aku menarik nafas dalam-dalam. 

Beberapa lama kemudian, aku sudah duduk manis di dalam pesawat. Aku sengaja memilih duduk di dekat jendela, hanya karena ingin melihat pemandangan Guangzhou untuk terakhir kalinya dari dalam pesawat. Dramatis? Mungkin. Dan air mata pun mulai menitik kembali saat aku berbisik dalam hati, 

“See you again, Guangzhou. Thanks for all the memories.”

***
Total penerbanganku selama tujuh jam hingga sampai Bandara Internasional Changi, Singapura. Aku memang harus transit di sini dulu sebelum tiba di Indonesia. 

Ketika sampai di Changi Airport, kecepatan detak jantungku bukannya melambat, malah semakin cepat. Dan kejadian yang paling kuhindarkan terjadi juga. 

Pasporku hilang.

Aku panik sembari mengaduk-aduk seluruh isi ranselku di depan pintu toilet. Benda kecil berwarna hijau yang bersampul cover berwarna kuning benar-benar tidak ada di dalam sana. 

Tiba-tiba seorang petugas bandara yang terlihat cantik menepuk pundakku. Ia tersenyum sambil menyodorkan benda yang sudah pasti adalah milikku. Sebelum ia beranjak, ia tersenyum kembali namun kali ini agak sedikit sarkastik. Mungkin ia ingin mengatakan betapa ceroboh dan bodohnya aku, bisa-bisanya meninggalkan benda penting di dalam kamar kecil.

Anyway, sudah kubilang, kan, kalau aku ceroboh? 

Tidak mau kecerobohan tersebut terulang, aku bergegas menuju boarding room meski belum tiba waktunya. Nggak lupa menjejalkan pasporku ke dalam tas ransel supaya aman. Tak lama kemudian, petugas membuka pintu boarding room dari dalam, orang-orang termasuk aku pun mengantri dengan tertib di dalam barisan. Ini yang aku suka dari Singapura. Mereka tertib, walaupun orang-orangnya agak kaku. Setidaknya itu yang kulihat dari raut wajah para petugas yang berseliweran di dalam bandara. Ingat petugas cantik dengan senyum sarkastik yang mengembalikan pasporku, kan? 

Kembali aku harus menunggu penerbangan berikutnya. Aku duduk di barisan bangku agak ke belakang sambil menyalakan laptop. Lumayan, ada kabel internet nganggur yang bisa dipakai. Mungkin aku akan mengecek beberapa email, membuka akun Facebook dan blog. Yes! Akhirnya aku tidak perlu membuka akun sosial mediaku dengan VPN. 

Sambil membuka Mozilla, mataku memandang orang-orang yang berada di sekeliling. Aku menemukan beberapa pasangan muda, orangtua dengan anak-anak yang masih kecil, ada yang bersama sahabat dan juga yang sendirian sepertiku. Kebanyakan memang yang berpasangan, mengingat destinasi yang akan dituju adalah destinasi sejuta umat untuk honeymoon di Indonesia. 

Ada satu pasangan muda yang menarik perhatianku. Mereka duduk bersebelahan dan berdempet erat. Sangat erat malah. Si laki-laki menunjukkan sebuah brosur kepada pasangannya, yang disambut dengan ekspresi bahagia sambil menunjuk-nunjuk brosur tersebut. Setelah itu si laki-laki mengecup pipi perempuannya. Tebakanku, mereka adalah newlywed alias pengantin baru. Mesranya agak berlebihan, tapi sweet

Mataku tertuju kembali pada layar laptop. Nggak lama kemudian, nomor pesawat yang kutumpangi disebutkan melalui pengeras suara. Penumpang yang duduk dari nomor 1-10 dipanggil terlebih dahulu. Karena aku duduk di kursi nomor 25, sepertinya aku harus menunggu sesaat lagi. 

Tiba di dalam pesawat, kali ini aku tidak duduk dekat jendela, aku memilih untuk duduk di samping koridor. Kali ini aku ingin cepat turun pesawat ketika tiba nanti. Jantungku yang tadinya sudah berdetak normal, sekarang berpacu kembali dengan irama yang sangat cepat! Semakin cepat dan..

***
.. yah, semakin cepat. 

Bahkan ketika akhirnya aku menghirup udara segar kembali, detak jantungku tidak juga melambat. 

Aku menghirup udara yang sudah berbeda sekarang. Ini Indonesia, tapi bukan rumahku. Hatiku nggak di sini. Aku nggak merasa ini pulang. 

Aku harus mengisi beberapa lembar formulir yang tidak sempat diisi di dalam pesawat, mungkin karena aku tertidur dan pramugari tidak memberikannya padaku. Aneh, harusnya mereka meninggalkannya saja di atas meja lipat pesawat. Setelah itu aku buru-buru menarik koperku yang berat berserta tas jinjing yang lain. 

Aku berjalan menuju pintu keluar. Terlihat beberapa loket money changer, petugasnya sibuk menawarkan kepada kami yang berlalu-lalang untuk menukar mata uang di tempat mereka. Setelah itu, pemandangan di depanku mendadak sangat ramai. Banyak dari yang mereka membawa papan nama, ada yang melambai-lambaikan tangannya tinggi-tinggi memanggil seseorang yang baru saja keluar, lalu mereka berpelukan. Aku mencari-cari namaku di antara papan nama tersebut, tentu saja hasilnya nihil. Mataku mulai mencari-cari sosok yang mungkin menjemputku. Aku mendengar banyak bapak-bapak yang mulai berseru, “Taxi? Taxi?” di sekitarku sampai telingaku agak panas. Dengan ramah dan sopan, aku menggeleng dan menjauh dari mereka. 

Beberapa menit sudah berlalu dan aku mulai merasa nggak tenang. Sosok yang kutunggu belum juga datang menjemput. Aku nggak bisa menghubungi siapapun karena aku belum punya nomor Indonesia. Tiba-tiba aku teringat di zaman ini ada yang namanya Wi-Fi! Aku segera mengaktifkan Wi-Fi—yang ternyata gratis di kawasan dalam bandara, lalu segera mengirimkan pesan lewat BBM dan juga Whatsapp. Setelah itu, aku duduk di dekat lapangan parkir taksi sambil mendekap barang-barangku. 

“Hei!”

Aku mendongak untuk menemukan sumber suara tersebut. Ketika aku menemukannya, senyumku melebar. 

Papa dan adikku. 

“Welcome home!” ujar Papa langsung memelukku, sementara adikku langsung sibuk membantu membawa barang. 

Aku mengernyitkan alisku. Welcome home? 

Aku menengok ke sebuah tulisan yang berada di atas gedung bandara. 

Bandar Udara Internasional Ngurah Rai. 

Seuntai senyuman terbentuk dari wajahku. 

Iyah, aku sudah pulang. Aku pulang ke rumah yang baru. 

“Gimana penerbanganmu? Capek yah?”

***