Belajar Cinta (A Short Story)

Belajar Cinta (A Short Story)

Posted by Jane Reggievia on 2020-10-03T10:06:00.000+07:00

Pernah nggak, kalian menjalani sebuah hubungan yang 'memaksakan' kalian berubah menjadi orang lain? 

Sama seperti kebanyakan anak muda yang naif dalam soal percintaan, aku pun pernah ada di posisi tersebut. Ketemu cowok, naksir dan berusaha sebaik mungkin untuk menjadi sosok cewek yang ideal untuknya. Dipikir-pikir, edan juga yaa gue. Kok mau aja, sih, berubah untuk orang lain. Cuma ya itu, kalau nggak ada pengalaman seperti ini, mungkin aku juga nggak akan belajar. Dan mungkin kisah cinta selanjutnya nggak akan berakhir indah seperti hari ini 🙈

Cerita pendek di bawah ini nggak sepenuhnya fiksi, karena berdasarkan pengalaman pribadi. Namun, karena judulnya cerpen, jadi aku menambahkan 'bumbu-bumbu' supaya lebih ngena di hati pembaca. Nggak usah diterka-terka, ya, mana kejadian fiktif, mana yang beneran huahahaha 

Eniwei, terima kasih untuk teman-teman yang udah memberikan support dan cinta pada cerpen pertama (Baru Pulang) yang sebelumnya sudah di-publish di blog ini. Butuh keberanian untuk melakukan hal tersebut. Setelah melihat respon dari kalian semua, mulai muncul kepercayaan diri untuk share cerpen lainnya yang didasari pengalaman personal di blog ini. Semoga tulisan yang ini pun bisa diterima dengan baik, ya 😊

Happy reading! 


BELAJAR CINTA
Jane Reggievia (2010)

Begitu masuk kamar, tanpa mengatakan sepatah kata apapun, ia langsung berbaring di atas ranjangku. Ia mengambil bantal dan menenggelamkan wajahnya di dalam sana. 

She cried.

Aku hanya bisa menghela nafas dan menutup pintu kamar. Hal pertama yang selalu kulakukan ketika seorang teman menangis tanpa mengatakan penyebabnya lebih dulu. adalah membiarkan dia menangis sepuasnya. Aku bukan tipe sahabat yang menye-menye, bukan juga tidak berperasaan atau bagaimana, namun menurutku itu yang terbaik. Aku hanya duduk diam di sebelahnya, tanpa bersuara.

Aku melirik sebuah jam digital di atas meja belajarku. Sudah satu menit ia menangis dan masih belum berhenti. Kemudian ia mulai mengusap wajah sembabnya dengan kedua tangannya. Buru-buru aku mengambil kotak tisu dan menyodorkan padanya.

“Tunggu yah, Jes. Gue masih capek nangis..” ujarnya sambil terisak. Nafasnya juga nggak teratur. Lagi-lagi aku hanya diam. Aku memperhatikan matanya yang mulai bengkak. 

“Menurut lu, gue bego nggak sih gak, Jes?”

Aku mengangguk. Memang benar, ia terlalu bego. Dibegoin cinta.

“Kok lu jahat sih??”

“Justru gue baik.”

Dia diam.

“Gue nggak mampu lagi, Jes. Gue capek.”

Aku menunggu dia meneruskan kalimatnya.

“Di depan dia gue nggak bisa jadi diri sendiri, gue harus pake topeng, gue nggak bisa nunjukin diri gue yang sebenernya, padahal gue paling benci harus jaim.”

Aku masih diam. Sepertinya dia masih ingin melanjutkan kata-katanya. 

"Lu tau nggak, kemarin dia ngajakin gue ketemu sama temen-temen basketnya di sebuah restoran. Gue no idea acara itu kayak apa, ternyata mereka minum-minum, Jes. Gue udah feeling nggak enak dari sebelum berangkat. Milih pake baju apa aja udah pusing. Lu tau, kan, gue nggak suka pake celana jins? Baju gombrong begini? Gue begini karena pengen kasih impresi ke dia kalau gue bisa jadi cewek boyish yang dia suka. Bodoh banget. Asli." 

Aku memandangnya dari atas sampai bawah. Iya, sih. Aneh banget melihat dia sekarang ini berpakaian yang benar-benar bukan dia banget. Maklum, aku terbiasa melihatnya tampil girlie. Biasa warna pastel menempel erat di tubuhnya. Sekarang ini dia persis cewek emo patah hati memakai serba hitam. Ya, emang lagi patah hati, sih, ya. 

"Terus, waktu dia nawarin gue minum, gue sempat ragu gitu, Jes."

Aku menyipitkan mata. "Maksud lu?"

"Ya gue bingung, mau gue minum apa tolak." 

Kalau setelah ini dia bilang dia minum, aku siap untuk memarahinya. 

Aku pernah baca sebuah artikel yang menyebutkan tiga hal yang perlu dipertimbangkan ulang dalam sebuah hubungan: Pertama, kamu mulai berpura-pura menjadi orang lain yang bukan dirimu (checked); kedua, sesuatu yang tadinya bukan sebuah godaan untukmu sekarang kamu malah mempertimbangkan untuk melakukannya (tentang minum tadi, checked); ketiga, kamu berharap orang yang kamu sayang tidak mengetahui apapun tentang masa lalumu (aku belum cross check tentang hal ini, namun sebelum itu terjadi, rasanya sahabatku harus benar-benar mengakhiri hubungannya ini). 

"...akhirnya gue bilang jujur kalau gue nggak bisa minum. And you know what, teman-temannya malah ngetawain gue. Gue berharap dia nggak ikut ngetawain, tapi apa yang dia lakukan setelah itu nyakitin banget."

"Apa?" tanyaku penasaran. Dalam hati aku siap-siap menghajar cowok ini kapan-kapan kalau aku berpapasan dengannya. 

"Dia memesan sebotol teh kemasan pada pelayan dan bilang gini dengan suara berbisik, 'bilang dong kalau kamu nggak bisa minum, bikin aku nggak enak aja. Sori guys, dia lagi nggak enak badan.' Gue harap gue salah dengar, tapi itu nyata di telinga gue, Jes. Dia lebih mementingkan image-nya di depan teman-temannya ketimbang mikirin gue." 

Awas aja, besok ketemu cowok jerk ini, aku bakal mendaratkan bogem mentah tepat di wajahnya. 

"Dasar cowok brengsek!" dia menangis lagi. Aku menyodorkan tisu kembali. 

“Jadi lu nyerah?”tanyaku.

Dia mengangkat kepalanya, matanya benar-benar merah sekali. Ia menunduk, kemudian mengangguk.

“Gue bangga sama lu,” ujarku.

Dia langsung berbalik cepat, “Kenapa bangga??” tanyanya agak sewot.

“Yup. Soalnya akhirnya lu bisa ngerti. Gue udah nungguin lu dari kapan-kapan mengeluarkan statement itu.”

Statement yang mana?”

“Yang soal lu nggak bisa jadi diri sendiri.”

Dia terlihat seperti berpikir sebentar, kemudian dengan wajah terkejut dia berpaling lagi kepadaku. “Jadi lu udah nyadar lama, Jes?? Kok lu nggak kasih tau gue, sih??”

Lah, dia nggak ngaca apa tiap mau keluar dia berpakaian seperti itu? Tentu aja ini hanya ucapanku dalam hati. 

“Sengaja. Supaya lu bisa belajar, lu udah gede. Udah mau 20, kan? Masa, sih, lu masih kayak anak SMA yang nggak tau soal cinta?" 

Aku memang bukan pakar cinta, pacaran yang tergolong serius juga cuman sekali, dulu pas SMA. Tapi aku paham pelajaran dasar soal cinta, yaitu soal harus bisa jadi diri sendiri di depan orang yang kita suka. Kalau sampai harus pake topeng, pasti ada yang salah. 

“Jadi gue beneran bego banget yah, Jes..” ia kembali menunduk dan siap untuk menangis kembali. Tubuhnya bergetar.

Aku langsung mengusap bahunya pelan. “Lu emang berbuat salah, tapi akhirnya lu belajar sesuatu, kan?”

Dia nggak berkata apa-apa lagi dan tau-tau aku sudah dipeluknya erat. Dia tau banget aku nggak bisa meluk atau dipeluk orang, tapi dia tetap melakukannya. Aku nggak menghindar, aku malah belajar untuk memeluknya balik. Mungkin memang dia membutuhkan pelukan dari aku, sahabatnya. Dan sahabatku juga butuh itu.

Lesson learned?” ujarku dengan suara rendah.

“Iyah, lesson learned,” ia melepaskan pelukan lalu mulai bisa tersenyum lagi. Senyum yang sudah lama aku nggak lihat dua bulan terakhir ini. Senyum tulusnya itu.

“Selama masih jadi manusia, nggak apa-apa buat salah. Itu artinya kita masih hidup, kan?”

Dia mengangguk cepat. “Gila yah lu, kalau lagi gini lu tuh pinter banget, Jes. Makasih, ya.”

Kali ini aku tertawa. Dan sekali lagi kita berpelukan.

“Mau makan es krim di kantin?” tanyaku sambil berdiri dan mengambil dompet di dalam laci meja. Hanya ada satu brand es krim yang jadi favorit kami berdua. Anehnya, itu hanya dijual di kantin kampus kami. Sudah lama juga kami nggak makan es krim tersebut. 

“Mau! Eh tapi... gue ganti baju dulu ya, Jes," ujarnya sambil menarik-narik kerah kaos hitamnya dengan sebal. 

***