Enaknya Tinggal di Bali dan Bogor

Enaknya Tinggal di Bali dan Bogor

Posted by Jane Reggievia on 2020-08-08T18:19:00.004+07:00

Waktu beberes navigasi menu di blog, aku baru ngeh ada kategori khusus tentang living in Bali, di mana isi tulisannya berupa cerita sehari-hari dan kegiatan jalan-jalan selama tinggal di Pulau Dewata (2013-2015). 

Di saat yang bersamaan, aku nemu tulisan lama tentang gimana rasanya jadi orang Bogor. Tulisan itu dibuat saat aku baru setahunan tinggal di Bogor. 

Kemudian aku pun berpikir, kayaknya seru, yaa, membahas pengalaman tinggal di dua tempat yang berbeda ini. Aku pun baru sadar juga bahwa belum pernah bercerita apa rasanya tinggal di Bali. Dan setelah empat tahun menjadi (istri) orang Bogor, pasti ada banyak hal yang dirasakan. 

Terinspirasi dari tulisannya Mba Eno juga yang pernah menceritakan perbedaan tinggal di dua negara yang berbeda, Bali or Jeju. Kalau versi aku, keduanya masih di Indonesia, namun sama-sama berawalan B: Bali dan Bogor 😆

Sebelumnya disclaimer dulu, yaa. Aku nggak berusaha untuk membandingkan kedua tempat ini. Sebaliknya, aku akan menceritakan hal dan bagian apa yang paling aku suka saat tinggal di Bali maupun Bogor. Apa aja, sih, yang bikin feels like home saat berada di kedua tempat ini? (: 

Tentunya semua pendapat dan opini berdasarkan pengalaman pribadi, ya! 

BALI

Toleransi yang tinggi. 

Sebagai salah satu pulau wisata ternama di Indonesia, ternyata mayoritas masyarakat Bali punya toleransi yang cukup tinggi lho. Setidaknya ini yang aku rasakan saat kami sekeluarga pindah ke sana. 

Kebetulan gang tempat tinggal orangtua ditempati oleh para pendatang yang sudah lama tinggal di Bali dalam jangka waktu di atas 15 sampai 20 tahun. Saat kami pindah ke sana, mereka menyambut dengan ramah. Nggak ada rasa seperti "senioritas" karena udah menjadi pendatang lama. 

Tetangga yang tinggal seberang rumah kami ternyata adalah seorang Pak Haji yang cukup dihormati di gang tersebut. Beliau suka mengadakan pengajian rutin tiap minggu di rumahnya. Pak Haji dan keluarganya ini ramah sekali. Waktu mereka merayakan hari raya Idul Adha dan setelah upacara qurban di tanah kosong dekat rumah, kami kebagian jatah juga lho. Agak kaget juga saat ada yang ngetok pintu rumah dan kebagian daging sapi hihi 

Masih tentang keramahan keluarga Pak Haji, saat beberapa hari putri beliau akan menikah, kami diundang ke rumah mereka untuk acara selametan. Tentu kami merasa senang dan feeling honored bisa turut merasakan kebahagiaan mereka sekeluarga. And not to mention, makanannya enak-enak bok! 🙈

Sikap toleransi juga aku rasakan sewaktu bekerja di Starbucks, di mana mayoritas teman-teman kerja dan atasan pun adalah orang Bali. Meski hari-hari pertama kerja aku merasa risih dan nggak nyaman, karena merasa "berbeda" sendiri, namun itu hanya terbatas dalam pikiranku. Karena realitanya, mereka samsek nggak membeda-bedakan atau pun mengucilkan. Aku diterima dengan sangat baik. Lucunya, ada beberapa kawan yang selalu excited bertanya-tanya mengenai kehidupanku, kenapa pindah ke Bali, kan enak di Jakarta dan sebagainya. Atasanku pun sangat menghargai kewajiban ibadahku setiap hari Minggu. Biasanya di hari Minggu, aku suka kebagian shift pagi atau sore. Jadi kalau masuk pagi, aku masih bisa ikut ibadah di sore hari, sementara kalau masuk sore, aku bisa ikut ibadah pagi bersama orangtua. 

Sebaliknya, ketika aku bertanya tentang hal-hal yang berhubungan dengan Bali--entah itu dalam hal makanan, bahasa, tradisi dan lain-lain, mereka nggak sungkan untuk menjawab. Bahkan aku nggak menolak saat mereka memanggilku dengan panggilan, "Gek", yang artinya panggilan bagi perempuan sebaya atau lebih muda. Later did I knew, Gek itu kependekan dari jegeg yang artinya cantik 😝

Aku pernah iseng tanya dengan salah satu dari teman Bali, kenapa, sih, masyarakat Bali itu punya sikap toleransi yang tinggi? Jawaban mereka kira-kira seperti ini: karena takut karma, dan bukan kah berbuat baik ke semua orang itu suatu kewajiban? Intinya, selama orang-orang baik ke mereka, mereka juga akan berbuat hal yang sama, dan vice versa. Jawaban yang cukup simpel, ya? (: 

Sikap cuek cenderung individualis 

Entah kenapa, yaaa, selama tinggal dan tiap pulang ke Bali, aku nggak merasa harus tampil paripurna saat berpergian. Di Bali, aku merasa nyaman memakai celana pendek dan sendal jepit ke mana pun. Mau ke pantai, ngafe, brunch cantik, restoran atau ke mal seperti Beachwalk/MBG pun, aku pede-pede aja berpakaian cuek seperti ini. Plus, kadang-kadang nggak dandan juga. Aku sama sekali nggak merasa dipandang "aneh" oleh orang-orang sekitar. Lah, bule kutungan atau bikinian naik motor aja bodo amat. Lain cerita kalau di Jakarta, pergi ke rumah teman aja kudu rapih, apalagi nge-mall! Wah, rasa insekyur menyerang kalau pakai sendal jepit ke Plaza Indonesia atau Mall Central Park sekali pun. Bisa ditatap judes bahkan oleh petugas security depan pintu masuk *lebayyyy kan lo* 🤣

Tadinya aku pikir ini perasaan pribadi doang, tapi ternyata mamaku sendiri sampai beberapa teman yang suka bolak-balik liburan ke Bali mengatakan hal yang sama.

Berarti terbukti yaa, mayoritas orang di Bali itu nggak kepo dengan orang lain, termasuk penampilannya. Alasan ini lah yang membuatku betah setiap kali berada di sana. Bisa bebas berekspresi melalui pakaian senyaman mungkin, tanpa takut dinilai negatif dari orang sekitar 😊

Lalu lintas yang nggak begitu hectic

Khususnya di jalan-jalan utama dan beberapa wilayah yang ramai turis, macet tentu tidak bisa dihindarkan. Namun bagiku sendiri, macet di Bali masih bearable. Apa aku aja yang bias, ya? 😂

Tapii beneran deh. Contohnya, macet di wilayah Pantai Kuta. Musim liburan macet di Kuta udah biasa. Mobil-mobil pasti mandek nggak bisa gerak. Kecuali pakai motor, bisa deh selap-selip. Meski bete terjebak macet, tapi mata tuh dimanjain dengan pemandangan toko-toko maupun bar-bar (bukan barbar!) yang ramai oleh pengunjung. Nggak tau kenapa aku senang-senang aja, sih, melihat keramaian seperti ini. Walau macet, masih ada yang bisa dilihay, lah. 

Nyetir motor di Bali pun bisa dibilang aku cukup pede. Awal-awal ada rasa takut, karena belum familiar dengan daerahnya. Lama-lama terbiasa, sih. Bahkan aku pernah nekad nyobain Tol Bali Mandara bareng mama naik motor. Nggak usah ditanya pengalamannya kek mana. Hanya berdoa biar nggak masuk angin! 🤣 Tol Mandara itu, kan, di atas laut, yaaak. Anginnya pun kencaaaang sekali. Dengan kecepatan 30 km/jam aja muka rasanya ikut terbawa angin LOL tapi yaa senang rasanya, kapan lagi bisa bawa motor di jalan tol sambil menikmati pemandangan biru-biru laut dan langit? ❤

Better quality of life 

Buat aku yang lahir dan tumbuh besar di ibu kota, lalu bertemu dengan gaya hidup di Bali yang cenderung lebih santai, secara nggak langsung membuat bawaan diri jauh lebih rileks. 

Stress level nggak setinggi waktu tinggal di kota besar. Kalau lagi penat, tinggal naik motor cusss ke pantai terdekat. Terkadang hanya mendengar suara ombak aja tuh udah bikin hati legaan, pikiran lebih tenang. 

Kebetulan jarak rumah ortu ke pantai terdekat nggak seberapa jauh. Kadang-kadang papa dan mama suka jogging ke pantai pagi-pagi, setelah itu ngopi sambil sarapan di McD hahahaha. Kebiasaan seperti ini nggak kutemukan sebelumnya waktu kami masih di Jakarta. Yaaa, mau ke pantai mana juga, kan. Masa ngesot ke Ancol? Jauh dongg 😂

Aku senang melihat mereka berdua lebih hepi (dan semoga selalu hepi!) selama tinggal di Bali. Mungkin memang keputusan mereka untuk menghabiskan masa tua di sana adalah yang terbaik 😊 *hiks mendadak kangen T_T*

BOGOR 

Street food everywhere! 

Bahasa kerennya, jajanan kaki lima di mana-mana! 

Pengen soto mie? Yang terdekat tinggal nyeberang dari gang rumah. Pengen bakso gerobakan? Ada di depan sekolah Josh yang dulu. Pengen robak atau surabi? Tinggal ngesot ke warung Saras dekat rumah. Martabak?? Ada juga dong, dari yang harga seloyang tigapuluhribuan sampai seratusribuan 😍

Selain pilihan makanannya yang banyak, harganya juga nggak mahal. Sepertinya kuliner di Bogor itu menjangkau segala usia dan kantong, deh. Apalagi kalau ngincernya jajanan dekat area kampus atau sekolah, pasti harganya lebih murah lagi.

Selama tinggal di Bogor, hampir segala craving mudah terpenuhi. Kayak beberapa hari lalu, mendadak aku dan suami kompakan pengen sarapan nasi uduk (kalo aku kepengen gara-gara baca laporan kuliner Mba Nita yang menikmati nasi uduk angkringan dan Mba Heni yang di-surprise-in sang suami dengan sebungkus nasi uduk di rumah). Untung dehhh, depan gang rumah, pas sebelahan dengan warung soto mie langganan kami, ada ibu yang jualan nasi uduk enak pisan. Ibunya malah udah kenal suami dari jaman SMP lho, btw hihi 
Mungkin karena aku udah bosan dengan makanan ala mall waktu di Jakarta, begitu tinggal di Bogor kalap banget, jajan ini jajan itu. Oh pantes yaaa.. perut makin buncit 😔

Cuaca dan kualitas air yang lebih segar

Awal-awal tinggal di Bogor, aku norak banget deh saat menghirup udara di pagi hari. Waaaah... cuacanya dingin! Persis kayak di Puncak gitu (yah emang deket sama Puncak yak). Biasanya cuaca adem seperti ini bertahan kira-kira sampai jam 7 pagi. Setelah itu, matahari biasanya udah agak naik dan mulai terik. Tapi terkadang sore hari anginnya juga sepoi-sepoi. Suami kalau pulang kerja, setelah mandi suka banget nongkrong di teras rumah sambil menikmati angin hahaha 

Selain cuaca, air di Bogor itu juga segar sekali. Mungkin karena langsung dari air mata pegunungan, ya *loh kayak iklan apa gitu*. Kalau cuaca kebetulan sedang dingin-dinginnya, air pun serasa es! Dan yang paling aku suka, air di Bogor itu nggak lengket di kulit. Pernah nggak kalau habis mandid kulit rasanya keset banget? Itu jarang terjadi selama (mandi) di Bogor. Ini diakui oleh mama mertua yang katanya air Bogor itu is the best huahaha 😆

Saking segarnya, di rumah mertua tuh selalu masak air ledeng untuk diminum sehari-hari. Aku yang jarang banget minum air masak, tentu nggak terbiasa awalnya. Tapi makin ke sini, aku malah lebih sering minum air masak. Menurut suami, air masak juga lebih segar di mulut dan tenggorokan. 

Lumayan, kann, jadi hemat beli air galon 😝

Lebih settle dalam hal pekerjaan 

Aku dan suami pernah membayangkan suatu hari nanti bisa nyusul papa dan mamaku untuk tinggal di Bali. Kenyataannya, nggak semudah itu untuk pindah dari satu kota ke kota lain. Ada banyak hal penting yang harus dipertimbangkan, salah satunya adalah mata pencaharian. Untuk saat ini, kami bersyukur sekali bisa settle dengan usaha yang dijalani suami. Saking nyamannya dengan usaha sekarang, kami hampir nggak bisa berpikir usaha lain yang lebih baik untuk menghidupi keluarga kecil kami 😅 

Tapi kami nggak berhenti bermimpi untuk bisa melanjutkan hidup di Pulau Dewata kok. Sambil bermimpi, sambil dipikirkan juga langkah-langkah apa yang harus dikerjakan dan dipersiapkan, dan tentunya tetap bekerja keras menjalankan pekerjaan yang ada. 

Doakan saja, yaa, semoga suatu hari nanti mimpi kami bisa terwujud 🥰

***
Meski tentunya ada beberapa perbedaan yang signifikan dari Bali maupun Bogor, namun aku bersyukur bisa punya kesempatan untuk mencicipi dua tempat yang berbeda. Beberapa alasan yang kujabarkan di atas tentunya yang selalu membuat kangen dengan kedua tempat ini. Kalau lagi di Bali, bisa mendadak kangen Bogor, begitu juga sebaliknya. 

Adakah teman-teman yang di sini pernah atau sedang tinggal di beberapa kota berbeda di Indonesia? Bagaimana pengalaman dengan kota di mana kalian tinggal tersebut? (: