How It Really Feels to be a Stay At Home Mom

How It Really Feels to be a Stay At Home Mom

Posted by Jane Reggievia on 2019-09-18T14:25:00.000+07:00

Saat orang-orang mendengar aku menjadi ibu rumah tangga, biasanya ada dua macam respon yang diberikan: (1) sayang banget kamu udah kuliah tapi di rumah aja, nggak kepingin kerja? (2) di rumah ngapain aja? nggak bosan?

Di sini aku mau coba merespon balik pertanyaan tersebut, sekalian ingin berbagi apa aja yang aku rasakan dan pelajari selama menjadi ibu-ibu rumahan, because there's always one-two things we learn in every stuff we do, yes? 

Being a stay-at-home mom is a personal decision

Sama halnya dengan ibu yang memutuskan untuk tetap bekerja (di luar atau di rumah) meskipun udah berkeluarga atau punya anak, semuanya adalah keputusan si ibu sendiri.

Kalau dibilang "sayang banget udah kuliah tapi di rumah aja", ya sebenarnya sayang. Iya lah, aku mah jujur aja. Karena nggak sekali dua kali kok aku ngerasa underrated, punya gelar tapi nggak dipakai untuk kerja (sesuai di bidangnya), lebih memilih untuk mengurus anak. Sementara teman-teman di luar sana punya pencapaian yang luar biasa yang kadang-kadang bikin ngiri.

Namun, setelah tiga tahun lamanya aku baru sadar, menjadi ibu rumah tangga itu pilihan yang aku putuskan sendiri, jadi hal terbaik yang bisa kulakukan, ya dijalani aja. Why compare? Why feelin underrated? When I realized about this simple truth, I feel better. Lebih enak menjalani peran sebagai ibu, tanpa merasa kehilangan identitas diri.

If only I realize this earlier, yaa... *geleng-geleng kepala sendiri*

EDITED: setelah ngobrol dengan sahabat dan suami beberapa hari lalu, selain nggak membandingkan diri dengan orang lain, kebal dengan komentar dan kritik orang lain ternyata juga penting, karena sejujurnya itu yang paling sulit aku terima dan masih proses belajar. Mau kita berbuat apapun juga orang-orang akan terus berkomentar karena mereka emang nggak ngerti dengan apa yang kita lakukan. Jadi, harap bersabar, ini ujian.

It was boring at first, but it turns pretty fun (and challenging!)

Bosen-bosennya itu paling terasa saat Josh masih bayi banget, karena hampir nggak bisa ngapa-ngapain. As time goes by, kita akan menemukan ritme yang pas. Kalau kata pastor di gereja, momen bergadang ngurus bayi itu adalah sebuah "keindahan" yang harus kita "nikmati" pada waktunya. Hang in there, mommies! Akan terasa jauh lebih santai waktu akhirnya Josh lepas nenen dan udah ngerti makan sendiri. Balita kalau udah bisa makan sendiri (nggak picky is bonus for mommy) udah enak banget deh. Apalagi sekarang udah sekolah, lebih banyak waktu untuk produktif, entah nulis blog atau sekedar journaling atau nulis caption buat postingan Instagram mendatang

For fellow SAHM out there, yang masih struggling sama bayinya yang susah makan, yang ikutan ngambek saat anaknya throwing tantrum, atau sekedar ingin me-time tapi nggak bisa-bisa, harap bersabar (lagi). Repeat this mantra with me: this too shall pass


Udah nggak terlalu menye-menye untuk hal-hal yang sebenarnya nggak terlalu penting

Waktu ke Pekanbaru kemarin, ada teman kami yang berangkat berdua aja tanpa membawa anak mereka yang seumuran dengan Josh (cuma beda seminggu lho). Kebetulan ada opa-omanya yang bisa bantu untuk jagain si bocah di rumah, so the parents bisa hepi-hepi deh. Salah satu agenda mereka di Pekanbaru adalah nonton bioskop. Menurut pengakuan suami si teman, sejak punya anak mereka absen ke bioskop, jadi kapan lagi bisa nonton berdua. Mendengar itu, aku dan suami senyum-senyum sendiri, because OMG we can relate! 

Dulu, aku sering banget komplen hal-hal kecil yang sulit dilakukan karena punya anak. Mulai dari nggak bisa lagi ngafe, ngemall sampai nonton bioskop. Padahal sebelum punya anak pun, aku dan suami memang nggak terlalu rajin nonton ke bioskop, jadi kenapa setelah punya anak malah mempermasalahkan nggak bisa ke bioskop? Nonton bioskop, pergi ngopi atau apapun itu rata-rata adalah kebutuhan tersier, yang lagi-lagi nggak terlalu penting (nggak dilakukan pun nggak ada efeknya). Lagipula, apa gunanya LK21 dan kawan-kawannya? ((: 

Banyak waktu untuk 'berkarya' di rumah 

Berkarya di rumah nggak melulu harus menghasilkan uang, sih, ini menurutku yaaa. Yang namanya berkarya berarti menghasilkan sesuatu dan bisa dinikmati. Contoh yang paling gampang dan paling melekat di title emak-emak, ya masak.

Aku bukan yang pinter masak, tapi nggak anti banget masuk dapur. Malah ada kesenangan sendiri gitu kalau udah di dapur, kalau bahasa anak-anak zaman sekarang, therapeutic. Ada yang gitu juga nggak?

Karena aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, mau nggak mau (belajar) masak. Tapi nggak sesering Ncus dan mama mertua, sih, soalnya mereka tiap hari pasti masak. Aku masak yang gampang-gampang aja, tumis-tumisan dan goreng-gorengan, mostly for Josh. Belakangan suami protes, kok aku masak buat anak doang (HAYOO SIAPA YANG PERNAH DIPROTESIN SUAMI JUGA? ðŸ˜‚), jadi akhirnya aku masak buat semuanya deh biar adil.

Sejak Agustus kemarin, Josh udah mulai sekolah dan kudu bawa bekal. Awalnya, aku cuma bawain snack box, karena jam istirahatnya cuma 15 menit, sedangkan kalau harus makan 'berat' Josh itu kudu disuapin biar cepat dan habis. Tapi PR-nya pulang sekolah harus kasih makan lagi, yang mana aku pun males karena anaknya udah keburu ngantuk dan capek (masuk sekolah siang soalnya). Akhirnya, aku mulai bawain bekal yang lumayan ngenyangin supaya pulang ke rumah bisa langung istirahat.

And the-drama-pusing-masak-bekal-apa-buat-anak-sekolah-saga pun dimulai. Demi kelancaran proses pembuatan bekal, aku pun beli buku kumpulan resep untuk pertama kalinya yang berjudul "Dapur Bekal" punyanya akun @dapurbekal. Sejak punya buku resep itu, puji Tuhan lumayan lebih sering masak, sih, hahahaha. Padahal isi buku resepnya juga menu sehari-hari versi dimodifikasi aja. Sesi masak pun jadi lebih bervariasi, anak dan suami kenyang, istri pun senang.

Btw, ini ada dokumentasi hasil dapur mama Josh tapi udah lamaaa banget. Karena sejujurnya agak males foto hasil masakan, bawaannya pengen langsung dieksekusi aja.

Ada yang bisa nebak masakan apakah ini? 

Being a (stay-at-home) mom is one of the best decision that I've ever made

Kadang kala aku masih bermimpi untuk bisa bekerja di luar rumah, having lunch meeting, ketemu orang-orang profesional, bawa segelas kopi di tangan sambil buru-buru masuk lift untuk mulai kerja. Tapi aku memilih untuk multitask di rumah bikin sarapan dan kopi secara serabutan sambil meladeni anak yang lagi bawel-bawelnya, naik ojol atau kadang-kadang jalan kaki nganter anak ke sekolah, bisa pergi groceries sendirian di siang bolong dan menyambut suami pulang kerja di sore hari. Some people call me lucky to have all of those, I consider it's a blessing.

Jadi ibu juga memberikan aku kesempatan untuk belajar mengenal diri sendiri kembali; belajar untuk nggak mengejar kesempurnaan melainkan terus melakukan yang terbaik, belajar untuk nggak membandingkan diri sendiri dengan orang lain melainkan berusaha untuk menjadi diri sendiri yang lebih baik lagi. 

Menutup tulisan hari ini, aku mau ngutip unpopular quote from the only one, Tina Fey, who once said: 

"Being a mom has made me so tired. And so happy."