How to Deal With OCD (Obsessive Comparing Disorder)

How to Deal With OCD (Obsessive Comparing Disorder)

Posted by Jane Reggievia on 2020-07-02T14:17:00.004+07:00

Bukan, bukan. Aku nggak membahas tentang diet OCD yang sempat booming beberapa tahun yang lalu. Hari ini, aku ingin coba bahas tentang OCD yang lain, yang mungkin kebanyakan dari kita pernah atau bahkan masih mengalaminya. 

Apa yang dimaksud dengan obsessive comparing disorder


Istilah obsessive comparing disorder ini dicetuskan oleh seorang penulis bernama Paul Angone. Mengutip dari situs Christian Counseling Centers, OCD ini berarti: "Constantly comparing ourselves with others, producing thoughts and feelings that drive us to depression, consumption, anxiety, and all-around joyous discontent."

Simpelnya, OCD ini adalah sebuah kecenderungan yang menyebabkan kita terus menerus membandingkan keadaan diri sendiri dengan kehidupan orang lain yang nggak kita miliki. 

Sounds familiar already? 

Menurut beberapa artikel yang kubaca termasuk pendapat dari Paul Angone sendiri, OCD memang lebih banyak 'menyerang' generasi milenial (it's you and me, folks!), karena kita hidup di jaman sosial media, di mana aktifitas ngepoin hidup orang tuh cukup dengan scrolling terossss di layar gadget sampai waktu yang tidak terbatas. 

Setiap manusia pasti punya kecenderungan OCD ini. Pada dasarnya manusia itu memang nggak pernah puas, ingin selalu menjadi yang terbaik. Orangtua aja selalu memakai cara "perbandingan" supaya kita belajar lebih rajin di sekolah. 

Masalahnya, perihal banding-membandingkan ini bukan suatu yang baik. 

Aku sering cerita ya sebelumnya, di awal melahirkan sampai anakku sekolah, aku sempat mengalami sindrom OCD (tentunya waktu itu belum tau istilah psikologis ini) yang cukup memprihatinkan. 

Karena nggak ada kerjaan di rumahselain bolak balik nyusuin dan ganti popok anak, aktifitas lain yang sering aku lakukan apalagi kalau bukan buka Instagram. Tiap hari scrolling dari atas ke bawah, cek satu per satu story teman-teman maupun beberapa influencer yang aku ikuti. Kemudian tanpa sadar mulai membatin: "Wah, hidup orang-orang kok keren-keren amat. Ada yang baru rintis bisnis udah cuan banyak. Ada teman lama yang tau-tau sukses jadi selebgram, diundang ke event sana-sini. Ada yang rutin traveling sebulan sekali. Lho dia juga baru punya anak kok udah produktif lagi sih?" Mulai deh, insecure. Kenapa kok hidup gue begini-begini aja. Harusnya gue bisa begini, harusnya gue bisa begitu. Kalau boleh dikasih kesempatan balik ke empat tahun yang lalu, pengen ngomong ke diri sendiri kayak gini, "Oiiii, lo mau jadi ibu rumah tangga tuh pilihan sendiri. Lagian anak lo emang masih bayi, masih butuh emaknya. Lo mau traveling juga ribet, kan?" 😂

Baca: Mengejar Mimpi Setelah Punya Anak 

Makanya, aku sempat males diajak ketemuan untuk ngumpul bareng teman-teman lama. Hanya karena aku sebel kalau ditanya, "Lagi sibuk apa, Jane?". Aku nggak punya jawaban bagus untuk pertanyaan itu. Alhasil, jawaban template-ku adalah: "Ya... gini-gini aja hidup gue." Terus, pulang ke rumah nangis di pojokan karena it's true, hidup gue gini-gini aja. Nggak ada pencapaian hidup se-wah teman-teman yang aku lihat di Instagram. Di saat mereka posting OOTD kece untuk kerja, aku pakai kaos dan celana pendek nggak lupa cepolan di rumah. Di saat mereka posting ngopi di kafe hits, aku sibuk marah-marah kenapa anakku lepeh-lepeh terus MPASI buatan emaknya. 

Sejak tahun lalu aku baru sadar, gilaaa capek banget hidup dengan mental seperti itu. Mau sampai kapan membandingkan keadaan diri sendiri? Mau sampai kapan sibuk ngurusin hidup orang lain? Mau sampai kapan mengasihani nasib sendiri tanpa ada usaha untuk mengubahnya? 

Nggak bisa lagi seperti ini. Aku harus berubah! *power ranger mode on* 

Berarti obsessive comparing disorder bisa sembuh? 


Tentu aja bisa! 

Setelah setahun lebih mulai membenahi diri, aku mulai menemukan cara-cara yang cukup ampuh untuk sembuh dan bahkan nggak perlu lagi mengalami si OCD yang menyebalkan ini. 

1. Choose who you follow on social media. 


Aku memang belum mau detoks media sosial (dalam hal ini Instagram, ya) seutuhnya karena masih merasa 'butuh' untuk hiburan dan keperluan bisnis. Akun jualan risoles mama di Bali kebetulan masih aku yang urus, jadi untuk uninstall Instagram sepertinya memang belum bisa. 

Satu-satunya yang bisa aku lakukan, adalah dengan memfilter daftar following

Dengan melalukan ini, isi feed kita benar-benar 'bersih' dan sesuai dengan apa yang ingin dilihat. Beberapa waktu lalu, ketika ingin membenahi daftar following-ku, aku baru sadar ternyata Instagram punya fitur baru, di mana kita bisa melihat akun apa aja yang sering tampil di feed (most shown in feed) dan yang paling jarang kita tinggalkan komen atau like postingannya (least interacted with). Btw, ini bisa dilihat langsung saat mengklik "following", ya. 

Fitur ini cukup membantu proses filter, sih. Kalau ada akun-akun yang dirasa udah nggak terlalu relevan dengan kebutuhan atau nggak lagi memberikan manfaat, tinggal unfollow aja. 

Yang agak susah itu kalau akun-akun toxic ternyata datangnya dari teman sendiri (yang nggak deket-deket banget). Mau unfollow takut nggak enak, entar baper. Solusinya, di-mute aja 😆

Terkadang pemicu utama OCD itu karena kita melihat terlalu banyak. Sesuatu yang berlebihan itu nggak bagus, termasuk saat bermain media sosial. 

Sekarang ini aku cukup puas dengan apa yang muncul di feed akun Instagramku. Media sosial itu nggak selamanya jelek kok. Semuanya balik lagi gimana caranya kita mengelolanya. Karena jujur aja deh, yang toxic itu bukan platformnya, tapi oknum-oknum pemakainya termasuk jempol netijen yang kecepatan ngetiknya semacam geledek yang suka ngagetin di siang bolong 😞

2. Learn to love yourself more by doing something that brings you more values.  


Salah satu cara terbaik sebagai tanda "mencintai diri sendiri" itu adalah dengan melakukan hal-hal yang memberikan nilai lebih bagi diri sendiri maupun untuk orang lain. Sederhananya, menjadikan hidup lebih bermanfaat. 

Satu-satunya kegiatan yang mampu memberikan manfaat nggak hanya bagi diriku sendiri, tapi juga untuk orang lain, adalah dengan menulis. Ketebak banget, ya? Hihi. 

I love writing more than anything else. 

Saat menulis aku bisa jadi diri sendiri seutuhnya. Saat menulis aku bisa belajar lagi tentang diri sendiri. Saat menulis aku bisa mendapatkan energi yang memampukan aku untuk berbuat lebih banyak hal lagi untuk orang lain. Ya, nggak usah jauh-jauh deh. Bisa memberkati suami dan anak sendiri aja udah bahagia. Tapi jujur, aku tuh selalu berbunga-bunga saat membaca komentar dari teman-teman semua di blog ini. Secara nggak langsung, kalian juga memberikan energi untuk aku bisa menulis lebih banyak lagi di sini. From the bottom of my heart, thank you thank you and thank you

Temukan sesuatu yang kalian suka, ya. Jangan lupa. 

3. Focus on what you have and what you can do. 


Aku senang banget deh dengan apa yang dikatakan Paul Angone masih dalam artikelnya di Relevant Magazine

"Own and hone your signature sauce, that unique flavor you bring to the world that no one else can." 

Analogi "signature sauce" ini menarik banget. Siapa yang di sini kalau sedang mengunjungi sebuah restoran baru, ketika nggak tau harus pesan apa, kita pasti tanya waiter-nya: "Menu rekomendasi di sini apa ya?" atau "What's your signature menu?" 

"Signature sauce" dalam kehidupan itu merujuk pada talenta, bakat, kekuatan yang ada dalam diri kita, yang bisa 'ditawarkan' ke orang lain. Jadi menurut Paul, daripada terus-terusan mengeluh tentang hal yang nggak kita miliki atau membandingkan level kesuksesan kita dengan orang lain, kenapa nggak fokus aja dengan apa yang sudah ada di dalam diri kita sendiri? 

Aku tuh percaya banget kita lahir nggak dengan tangan kosong. Tuhan sudah kasih "bekal" yang berbeda-beda dan unik buat setiap kita, which becomes our signature sauce. Tugas kita, ya, mengusahakannya. Istilah yang dipakai Paul "hone" artinya itu adalah mempertajam atau menyempurnakan sesuatu (skill) yang sudah ada di dalam diri kita masing-masing. 

Ketika kita mulai fokus mengasah kemampuan yang kita miliki, tanpa sadar kita nggak lagi terobsesi membandingkan kehidupan kita dengan orang lain. Daripada iri, kita malah turut bahagia dengan kesuksesan teman-teman kita. 

Paul menutup artikel di atas dengan kalimat ini: "If you just obsessively compare your success to everyone's else, your signature sauce will become that black stuff on the bottom of the pan because you never actually used any of it." Siapa yang mau talentanya "gosong" dan nggak jadi apa-apa di kemudian hari? 😭

***
Proses untuk healing dari obsessive comparing disorder ini memang nggak mudah, mungkin butuh perjalanan yang panjang. Asalkan ada niat untuk berubah, pasti ada jalannya. 

Semoga tulisan hari ini bermanfaat untuk teman-teman semua, ya. Silakan yang mau curhat atau berbagai pengalamannya, kolom komentar di bawah selalu terbuka untuk kalian. Terima kasih sudah membaca  (: