Menghargai Selera

Menghargai Selera

Posted by Jane Reggievia on 2020-09-08T12:49:00.001+07:00

Ada satu bagian dari buku "Tak Mungkin Membuat Semua Orang Senang" yang cukup menyentil, judul topiknya adalah tentang selera yang harus dihormati. 

Setiap orang pasti punya preferensi (selera) yang berbeda-beda menyangkut berbagai hal. Contoh paling sederhana tentang selera kopi. Aku lebih suka minum kopi dengan campuran susu, sementara suami setia dengan kopi hitamnya tanpa gula. Sedangkan soal film, aku lebih memilih tontonan drama romantis komedi, sementara suami lebih suka dengan tontonan action

Pemilihan tema/niche blog pun pasti berdasarkan preferensi penulisnya sendiri. Ada yang suka traveling, konten blognya pun kebanyakan tentang jalan-jalan. Begitu juga dengan mereka yang seorang book or movie junkie, konten yang mereka tulis pasti seputar tentang itu juga. Atau ada juga yang kayak aku, isi blognya lebih seperti jurnal pribadi, di mana pembaca bisa mengenal lebih jauh dunia penulisnya. 

Setelah baca bagian buku tersebut, mendadak aku teringat sebuah peristiwa (halah, cem headline news) kecil yang baru-baru ini terjadi. 

Seorang kerabat tiba-tiba menanyakan di mana aku memesan kue ulang tahun untuk Josh berikut harganya. Ketika aku menyebutkan nominalnya (not the exact price tho), beliau cukup kaget dan mulai berkomentar tentang hal-hal yang mendadak membuatku merasa nggak nyaman. Pertama, menurutku harusnya dia nanya japri aja. Kedua, as a senstive person I am, ya tentulah aku merasa super nggak enak. 

Malamnya, aku ngobrol ke suami tentang hal ini, kebetulan waktu topik ini dibicarakan doi sedang nggak ditempat. He responded it calmly, "Ah, cuek aja. Ngapain harus merasa nggak enak. Selera orang, kan, berbeda-beda." Mendengar itu, mendadak aku merasa lega. 

Iya juga. Kenapa aku harus nggak enak dengan seleraku pribadi? Hanya karena seleraku berbeda dengan orang lain, apakah aku harus merasa bersalah? 

Sikap "nggak enakan" ini tanpa disadari aku pupuk sejak usia remaja dulu. Aku memang nggak pernah percaya diri dengan seleraku pribadi. Di saat teman-teman lain heboh dengan musik Simple Plan, aku merasa alay menikmati musik Kpop dan Chinese Pop. Saat kuliah pun, aku mencoba menjadi "asyik" dengan mengikuti selera orang lain supaya semata-mata bisa diterima. Untungnya, perlahan aku sadar kebiasaan ini nggak baik dan harusnya aku nggak boleh minder dengan apa yang aku suka, tanpa harus merendahkan atau menjelekkan selera orang lain.  

Meski udah nggak separah dulu, yang mana kadang-kadang perasaan itu suka timbul dan surut, I'm now totally fine with my own preference. I'm almost 30 and still love Kpop music, yang mana sekarang lebih banyak diminati oleh dedek-dedek Gen Z. Kadang-kadang masih suka minum boba drinks meski sempat dibilang seleranya kayak bocah SMP. Genre buku bacaanku hampir sama ketika waktu aku masih berusia 18 sampai awal 20an, walau mulai terbuka dengan genre lainnya. 

Beberapa hari kemudian setelah kejadian itu, aku sedang iseng cek Instagram karena baru saja memposting foto ulang tahun Josh. Di feed muncul postingan dari kerabatku tersebut yang baru saja membeli sebuah produk yang aku tahu harganya di luar jangkauanku. Meski kuakui bagus, namun aku tau nggak mungkin aku beli. 

Tiba-tiba aku menertawakan diri sendiri. Seleraku memang berbeda dengan beliau, begitu juga sebaliknya. Dan itu nggak apa-apa. Mengutip Jeong Moon Jeong dalam bab bukunya tersebut, dunia akan jauh lebih baik kalau kita bisa saling menghargai selera satu sama lain 😊