Ternyata Passion Aja Nggak Cukup Untuk Sukses

Ternyata Passion Aja Nggak Cukup Untuk Sukses

Posted by Jane Reggievia on 2019-11-15T19:56:00.002+07:00

Udah lama banget rasanya nggak ngomongin tentang sebuah topik yang dulunya sangat dekat buatku, passion.

Sebelum lebih lanjut, aku ingin flashback sebentar ke beberapa tahun yang lalu di mana aku mulai sering gelisah karena soal passion ini.

This is gonna be a long one. Grab your boba or coffee drinks and snacks, bear with me. 

***
Sejak sebelum kuliah aku mulai sering galau, pertama karena aku sempat khawatir nggak bisa kuliah (dengan jurusan impian) karena masalah ekonomi orangtua. Bisa dibaca cerita lengkapnya di sini ya: Untold Story: What Brought Me to China. Kedua, setelah aku berhasil mendapatkan beasiswa penuh untuk kuliah di luar negeri, aku galau nggak bisa menyelesaikan kuliah sampai akhir karena jurusannya bukan pilihanku sendiri. Kuliah jurusan Sastra Mandarin itu buatku 'terpaksa' karena nggak punya pilihan. Buat beberapa orang yang memang kenal aku, jurusan tersebut terdengar sangat "cocok" buatku. Karena buat mereka, "si Jane, kan, emang bisa Mandarin dari kecil, mamanya aja guru Mandarin, emang udah jalannya lah dia juga begitu." Ya, kira-kira begitulah anggapan orang lain. It seems promising for others, tapi buatku sendiri yang menjalaninya malah penuh tanda tanya. 

Singkat cerita, meskipun ada hari-hari di mana aku harus belajar lebih ekstra karena nggak kepengen ngulang matkul di semester berikutnya, puji Tuhan semuanya bisa dilalui dengan lancar. Sampai akhirnya kegalauan berlanjut menjelang nulis skripsi, itu berarti udah harus mulai berpikir karir atau pekerjaan apa yang harus dijalani setelah lulus. Idealnya, kita akan bekerja sesuai dengan jurusan yang kita ambil, berarti pilihan karir yang paling tepat buatku adalah guru. Masalahnya adalah, menjadi guru bukanlah passion aku saat itu. Nggak pernah aku bayangkan rasanya jadi guru.

Lucunya, meskipun bilangnya nggak pengen jadi guru, aku malah sepertinya sengaja 'didekatkan' dengan profesi ini.

Sejak aku SMA, mamaku sering banget minta tolong aku untuk jadi asistennya saat ngajar bahasa Mandarin. Aku mau-mau aja, soalnya dijanjiin uang jajan lebih hahahaha. Tapi ya nggak pernah ngeluh, asik-asik aja gitu bantuin mama ngajarin murid-muridnya, bikin soal latihan dan lainnya. Selain ngajar bahasa Mandarin, waktu SMP pun sebenarnya aku pernah ngajar sepupu untuk les piano. Dibayar lho, dan aku masih inget hasil uang les tersebut aku pakai untuk ganti HP baru merek Sony Ericsson Walkman yang modelnya bisa diputer-puter gitu, terus kualitas suaranya kece banget di jaman itu. Saat kuliah pun aku sempat ngajar piano untuk adik kelas aku, ngajar kelas Alkitab di gereja juga pernah, pokoknya aktifitas "mengajar" ini sebenarnya bukan hal asing buatku. Sampai lulus pun, penghasilan utamaku itu sebenarnya banyak dari hasil mengajar atau jadi guru.

Sayangnya, karena mengajar bukan sebuah passion dan aku sendiri 'terjebak' dalam persepsi yang salah tentang passion, akhirnya aku nggak pernah belajar sungguh-sungguh menyukai pekerjaan tersebut yang mana bisa menghasilkan secara materi. Aku menolak mentah-mentah untuk bekerja menjadi guru full time di sekolah (padahal gajinya LUMAYAN banget!), hanya karena aku merasa itu bukan panggilan aku. Persepsi aku tentang passion saat itu adalah harus bisa melakukan sesuatu yang benar-benar aku suka, which is menulis.

Kalau ditanya hal apa yang aku suka dan nggak pernah bosan untuk melakukannya, ya menulis. Mau nulis essay, nulis cerpen, nulis blog apapun deh. Makanya, aku pernah bercita-cita untuk bisa bekerja sebagai jurnalis atau content writer di sebuah majalah. Nggak kesampaian, aku mencoba untuk serius blogging. Realitanya, untuk bisa mendapatkan uang dan endorsement melalui blog tidak semudah itu ferguso. Butuh jam terbang dan komitmen untuk mengisi konten blog sampai bisa dilirik calon klien.

Aku pernah cerita, ya, setelah lulus kuliah aku nggak bekerja full time di luar. Aku lebih memilih untuk membantu mamaku yang saat itu memulai bisnis kembali dari 0. Meskipun statusnya "bantuin orangtua", tetap aja aku nggak ngerasa kerja 'beneran'. Di saat teman-teman lainnya udah mulai diterima kerja di perusahaan besar, ada yang langsung menjadi guru full time di sekolah bahkan ada juga yang memulai bisnisnya sendiri. Di momen itulah aku merasa galau setengah mati; what am I doing with my life? I once had a big dream tapi kok kenapa sekarang kayak nggak tahu musti ngapain?

Kegalauan tentang tujuan hidup, mimpi dan passion akhirnya aku tuangkan ke dalam sebuah buku berjudul Passion Talk. Lumayan lah ya, galau-galau tapi berbuah manis karena bisa nerbitin buku pertama meskipun self-publishing. Proses menulisnya selama aku nganggur, kemudian terbit di saat aku mulai bekerja sebagai barista dan aku masih ingat euforia yang dirasakan saat itu. Menjadi barista celemek hijau dan bisa menerbitkan buku sendiri tentu bukan mimpi untuk semua orang, tapi rasanya buatku waktu itu keren banget.


Setahun kemudian, aku menikah, tahun berikutnya punya anak, dan tahun-tahun selanjutnya sampai hari ini aku habiskan waktu 24/7 untuk Josh dan keluarga. Aku sempat lupa dengan apa yang biasa aku lakukan, ya nulis, ya blogging, ya mengajar dan lainnya selama hampir dua tahun. Nggak bisa mikir apapun kecuali ngurusin Josh. Seiring berjalannya waktu, aku mulai bisa menemukan ritme untuk kembali aktif mengisi konten di blog dan juga melakukan hal lainnya di luar perintilan anak. Jujur, aku senang banget bisa rutin blogging, meskipun nggak menghasilkan tapi hati enak aja gitu bisa berbagi melalui tulisan.

Tapi diam-diam hati ini membatin, harusnya gue bisa nih mengerjakan sesuatu sesuai skill yang gue punya dan benar-benar bisa menghasilkan. Apa gue ngajar les privat aja, ya?

Sebenarnya. ide tentang mengajar ini tuh udah lamaaaaa banget dicetuskan suami. Nggak tau kenapa kok kayaknya cenderung maksa aku untuk ngajar di rumah. Memang, sih, akhirnya aku terima tawaran ngajarin ponakan suami (dan dibayar), tapi ya itu, lagi-lagi aku nolak untuk ngomong ke orang lain kalau aku terima murid les dengan alasan segudang. Biasanya nih, kalau ada yang 'cerewet' soal potensi kita, jangan-jangan memang itulah yang harus kita kerjakan. 

Maka akhirnya, beberapa waktu yang lalu aku memberanikan diri untuk "mempromosikan" jasa mengajar ini di sosial media dan ke beberapa circle yang aku punya. Puji Tuhan udah ada satu murid baru dan udah mulai ngeles sejak minggu lalu. Selama mengajar, aku merasa ini this is the right thing to do. Sempat ada pikiran kenapa nggak dari tahun lalu aja melakukan ini, tapi ya ternyata sekarang ini lah timing yang tepat.

Terus, inti dari cerita panjang lebar ini apa, sih, Jane? What message do you want to try deliver? 

Jadi begini. Makin ke sini aku makin paham, kalau passion itu bukan sekedar suatu bidang yang kita suka. You name it, musik, art, science, culinary, anything. Tapi passion itu juga bisa berupa sebuah aksi maupun tujuan (Gita pernah ngomong gini juga di videonya tentang ikigai), dan passion aku saat ini bukan lagi hanya menulis, namun berbagi cerita dan mengajar. Yang mana sebenarnya aku bisa menarik benang merah dari kegiatan yang memang sudah aku lakukan beberapa tahun ini, menulis dan mengajar. Aku menulis untuk berbagi, aku mengajar pun untuk berbagi.

Dan aku pun juga merasa passion itu nggak melulu tentang sesuatu yang kita suka lakukan. Pernah dengar quote "do what you love, love what you do" kan? Pastor di gerejaku, Jeffrey Rachmat, beliau pernah ngomong seperti ini: "Semua orang mudah untuk melakukan apa yang mereka suka, tetapi untuk mencintai apa yang sedang dilakukan itu jauh lebih sulit dan mereka biasanya adalah orang-orang hebat."

Setuju banget nggak, sih??

Selama ini aku menganggap menulis sebagai passion, sesuatu yang aku sukai banget. Tapi ternyata aku punya keahlian di bidang lain yang bukan passion tapi sebenarnya bisa lebih bermanfaat dan aku bisa mengeluarkan seluruh potensi di bidang itu, contohnya ya mengajar ini.

Aku pernah baca sebuah artikel dari situs Provoke Magazine (mohon maaf link sebelumnya sudah timeout), yang membahas tentang nasihat "follow your passion". Mereka mengutip penelitian seorang penulis psikologi bernama Erik Barker, yang membuktikan bahwa manusia itu lebih suka melakukan sesuatu yang gampang ketimbang melakukan sesuatu yang membuat kita menjadi ahli (di bidang tertentu). Jadi kalau di kasusku, apakah aku menulis atau blogging karena sekedar gampang dan menolak untuk mengajar padahal hal tersebut bisa aja membuatku bisa menjadi ahli?

Hayooo... coba tanya dulu ke diri masing-masing, apakah yang kalian kerjakan saat ini benar-benar sebuah passion atau sekedar sesuatu yang gampang dilakukan aja?


Masih dalam artikel yang sama, ada penelitian lainnya dari seorang penulis bernama Cal Newport yang mengatakan passion justru dihasilkan ketika kita menggeluti keterampilan (yang langka) di bidang kita dan keterampilan yang kita punya itulah membuat kita dihargai tinggi. Dengan kata lain, kita nggak bisa cuma mau melakukan yang kita mau atau senang aja, tapi kita harus cari cara untuk mencintai apa yang kita lakukan. Karena menurut Cal Newport, orang-orang yang mengikuti nasihat "follow your passion" di saat mereka menghadapi kesulitan, mereka mudah sekali untuk menyerah. Padahal harusnya passion itu bukan sekedar emosi sesaat, bukan sebuah emosi yang menggebu-gebu di awal namun meredup di tengah jalan. 

Jadi, harusnya gimana dong kak?

Kalau mengikuti saran Newport di atas, kalau mau sukses berarti mengejar passion aja nggak cukup, harus punya kegigihan untuk bertahan. Dan kunci untuk bertahan adalah tahu apa yang ingin dicapai dan apakah yang kita lakukan bisa berguna dan membantu orang lain. Yes, passion helps you to find your purpose, but sometimes by not only doing one thing, but to experience many things out there. Karena terkadang kita bisa menemukan sesuatu yang baruatau bahkan memang sudah ada dalam diri kita tapi nggak sadar aja, contohnya seperti aku soal mengajar tadidi saat kita keluar dari zona nyaman, bukankah begituuuu? 

Sebagai penutup, ada quote menarik yang pernah dibagikan Alodita saat mengikuti kelas workshop-nya beberapa waktu lalu: 

Kerja, kerja, kerja!