Waiting Room

Waiting Room

Posted by Jane Reggievia on 2020-10-20T11:55:00.000+07:00

Bisa dibilang aku adalah salah satu dari sekian jutaan orang yang tidak suka dengan aktifitas menunggu. Apalagi kalau yang ditunggu itu nggak tahu kapan datangnya. Ini bukan ngomongin jodoh yang jauh di mata, ya. Lagi ngomongin galaunya tiap kali nunggu antrean dokter di rumah sakit. 

Seperti yang sudah teman-teman tahu, selama hampir tiga bulan ini aku rutin berkunjung ke rumah sakit untuk temu janji dengan dokter kandungan. Kebetulan sang dokter ini suka lamaaa sekali datangnya. Praktiknya pukul 9-12, namun batang hidung beliau baru terlihat sekitar pukul 11 atau 11:30. Belum lagi pasien yang mengantre cukup banyak, karena lagi-lagi sang dokter ini cukup banyak penggemarnya. Untuk booking appointment dengan sang dokter ini tidak bisa di H-1 sebelum jadwal kontrol. Bisa-bisa kita akan mendapatkan nomor antrean paling belakang, yang mana ini sangat aku hindari. Waktu aku mendapatkan nomor antrean ke-20 sekian di pertemuan pertama, untuk booking kontrol berikutnya aku harus menghubungi pihak rumah sakit jauh-jauh hari, kalau bisa seminggu sebelum deh. 

Karena sudah tahu bakal nunggu agak lama, saat pertemuan pertama pun aku bawa "senjata" untuk menghilangkan kebosanan selama menunggu di rumah sakit. Earphone dan buku bacaan nggak boleh ketinggalan. Hape juga harus di-charge 100%. Biar akunya nggak ikutan modyar kalau hapenya mendadak metong. 

Sambil dengerin podcast di Spotify, satu jam berlalu cukup cepat dan tidak terlalu berasa. Setengah jam berikutnya, mulai gatel ingin tanya ke perawatnya. Kapan dokter datang? Apakah hari ini jadi praktik? Jam berapa kira-kira beliau datang? 

Satu jam kembali berlalu, dokter yang ditunggu belum datang juga. Mulai deh kayak cacing kepanasan. Mendadak isi hape mulai membosankan. Buku bacaan yang dibawa juga nggak lagi menarik. Fokusku hanya menatap pintu ruangan dokter yang masih terbuka dan tempat duduknya yang kosong. Nggak berapa lama, aku mendengar desas-desus di samping dan belakang tempat duduk. Sepasang suami istri duduk bersama dan suaminya berujar, "Dokternya lama banget" terus ada juga ibu muda yang berbisik ke perempuan sebelahnya, "Biasa deh ini dokternya suka lama". Oh, ternyata memang biasanya selama ini. 

Setengah jam berlalu, yang ditunggu-tunggu akhirnya terlihat juga! Sang dokter berjalan gesit menuju ruangannya dan saat pintu tertutup, di situlah para pasien tahu bahwa sebentar lagi satu per satu dari setiap kami akan bergantian masuk ke dalam untuk menemui dokter dan juga bayi yang ada dalam perut buncit kami masing-masing. 

Meski mendapat nomor antrean agak belakang, setidaknya aku lega karena dengan nomor antrean adalah sebuah kepastian di mana aku akan masuk ke dalam ruangan dokter tersebut. 

***
Tahu nggak, terkadang aku berharap aku juga bisa punya nomor antrean untuk mendapatkan jawaban dari setiap doaku. Entah itu jawaban tentang kapan kami punya rumah sendiri, kapan kami bisa mengembangkan bisnis yang baru, kapan pandemi ini cepat selesai dan pertanyaan kapan-kapan lainnya. 

Aku benar-benar berharap Tuhan bisa memberikan aku nomor antrean tersebut. Meski mungkin aku tetap merasa gelisah di ruang tunggu seperti saat menunggu dokter datang, setidaknya aku punya nomor antrean yang memberikan kepastian kapan aku bisa mendapatkan jawaban doa-doa tersebut. 

Sayangnya, "ruang tunggu" versi Tuhan nggak mempunyai sistem nomor antrean seperti di rumah sakit. God doesn't work that way. Faith, doesn't work that way. 

Waktu kecil dulu, saat mendengar cerita Bapak Abraham yang menanti janji Tuhan untuk mengaruniakannya seorang anak yang mana kita tahu bernama Ishak, aku merasa biasa-biasa aja. Saat dewasa dan berulang kali membaca cerita tersebut, aku selalu terheran-heran dengan iman yang dimiliki Abraham. Gimana, sih, caranya dia menunggu jawaban Tuhan selama bertahun-tahun? Sampai di usianya yang menginjak usia seabad, akhirnya dia mendapatkan jawaban tersebut. Gimana caranya Abraham bertahan selama itu?

"Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap juga dan percaya, bahwa ia akan menjadi bapa banyak bangsa... imannya tidak menjadi lemah, walaupun ia tahu tubuhnya sudah sangat lemah dan rahim Sara telah tertutup. Tetapi Abraham tidak bimbang dengan janji Allah, malah ia diperkuat dalam imannya dan tetap memuliakan Allah." (Roma 4:18-20) 

Aku nggak pernah tahu apa yang dirasakan oleh Abraham dan Sara dalam masa penantian mereka. Mereka juga manusia biasa kok. Abraham juga nggak sabar menanti janji Tuhan, so he took a shortcut. Tapi Tuhan seolah-olah bilang padanya, "Kamu bisa cari jalan pintas, tapi cara-Ku nggak seperti itu." 

Setelah Abraham sadar apa yang dilakukannya salah, ia pun mengisi waktunya di "ruang tunggu" dengan melakukan hal-hal lain, di mana hal tersebut malah membawa dia semakin dekat dengan Sang Pencipta, semakin mengenal siapa dirinya sebagai ciptaan Tuhan. 

***
Meski ada kalanya aku merasa gerah banget dan nggak berhenti 'ngerecokin' Tuhan dengan pertanyaan yang sama, "Berapa lama lagi aku harus menunggu, God?", akhir-akhir ini aku sadar bahwa pertanyaan tersebut nggak akan membawa aku ke mana-mana. Sibuk bertanya hal yang sama pada Tuhan nggak membuatku semakin dekat dengan jawaban doa yang ingin aku dapatkan. Bukannya semakin kuat, yang ada imanku melemah karena mulai meragukan caranya Tuhan. 

So instead, I'm practicing gratitude more often these days. Sama halnya aku bersyukur bisa menemukan pastel dan bakcang enak di kantin rumah sakit saat menunggu dokter datang di pertemuan berikutnya. Pastel dan bakcang tersebut seperti small joys yang layak mendapatkan selebrasi dalam kehidupan sehari-hari, sembari menunggu sesuatu yang kita doakan. 

Apapun permintaan teman-teman saat ini yang belum terjawab, semoga suatu hari nanti kalian bisa menemukan jawabannya. Sementara itu, semoga kita sama-sama bisa tetap bersemangat dan menemukan kebahagiaan kecil di "ruang tunggu" kita masing-masing, ya. 

And remember, don't lose your faith (: