Worthy Monday #6: My Bullet Journal Experience (How It Helps Me Planning Throughout The Year)

Worthy Monday #6: My Bullet Journal Experience (How It Helps Me Planning Throughout The Year)

Posted by Jane Reggievia on 2020-01-06T09:00:00.000+07:00

Hello! Selamat datang di seri Worthy Monday pertama di tahun 2020! 

Buat yang pertama kali baca ini, Worthy Monday adalah seri baru di blog ini, di mana aku membagikan tips-tips gaya hidup (produktif) dari perspektif seorang SAHM. Cita-cita aku sebagai ibu rumah tangga tentu nggak cuma ngurus perintilan domestik, kan. Pengen juga lah bisa berbagi pengalaman pribadi yang mudah-mudahan bisa bermanfaat untuk orang lain juga. So far, baru ada enam tulisan (termasuk blog post hari ini) untuk topik ini. Monggo, kalian bisa cek tulisan Worthy Monday lainnya di blog ini, ya! 

Kali ini aku ingin berbagi pengalamanku selama setahun dalam menulis bullet journal atau biasa disingkat bujo. 

Dalam postingan ini aku sempat mention, ya, manfaat yang aku rasain ketika menyelesaikan bujo secara konsisten selama 2019 yang lalu. Terus, ada yang nanya, bujo ini ngapain, sih, sebenarnya?

Mungkin sebagian dari kita udah sering dengar istilah bujo-bujo ini. Namun, bagi yang asing sama sekali, bullet journal ini singkatnya adalah metode perencanaan secara analog yang fungsinya membantu kita mengatur dan memantau kegiatan kita sehari-hari. Bujo ini kayak agenda/planner biasa yang kita temukan di toko buku dan bisa langsung diisi sendiri dengan template yang sudah tersedia; biasanya ada halaman kalendar, notes, monthly/weekly spread dan sebagainya. 

Sumber: bando.com

Bedanya bujo dengan agenda yang ada di luaran sana, kita bebas bikin layout apapun yang kita mau, sesuai dengan kebutuhan kita. Karena sistemnya analog, dengan kata lain, we create our own planner from scratch. 

Ditonton dulu supaya lebih mudeng, ya!
Video ini dibuat oleh sang pencetus bullet journal asal Amerika, Ryder Caroll

Pertama kalinya aku tau tentang bujo dari sahabatku, Sastika, dia udah lebih dulu nyobain bujo sejak dua tahun yang lalu. Waktu itu aku mikirnya, wah bujo ini kayaknya cocok buat orang-orang kreatif deh. Kebetulan Sas itu emang suka banget dengan hal-hal berbau DIY, terus kalo browsing bujo di Instagram maupun Pinterest, pasti keluarnya berbagai macam desain bujo yang wow banget. Warna-warni, banyak tulisan kaligrafi, doodles lucu dan tampilannya rata-rata terlihatmeminjam istilah anak muda zaman sekarangaesthetic.

Aku memang suka nulis agenda sejak dulu. Beberapa tahun sebelum nyobain bujo, aku selalu memakai agenda 'jadi'. Kebanyakan dikadoin dari si sahabatku ini juga, karena pada dasarnya kami planner sejati, sih, hahahaha.

Karena terlanjur menanamkan mindset tentang bujo harus lah estetik dan pinter gambar, rasanya nggak mungkin deh aku nyobain bujo ini. Apalagi harus ada waktu khusus untuk gambarin layout-nya satu per satu, mama Josh mana sempaaaaat??

Entah gimana ceritanya, di akhir tahun 2018, tiba-tiba kepengen aja gitu cobain bujo. Hal pertama yang aku lakukan waktu itu, adalah beli buku jurnal kosong yang baru.

Belinya di mana? Di Shopee aja, BANYAK. Aku beli di Bukuqustore, jurnalnya buatan lokal dan harganya nggak terlalu mahal, masih okelah. Kualitas kertasnya juga cukup bagus. Soalnya pelaku bujo yang udah pro di luaran sana kebanyakan pake jurnal merek Moleskine atau Leuchtturm yang harganya memang nggak murah (untuk sebuah notebook). Siapa tau di tengah jalan aku lelah nggak kepengen lanjut bujo lagi, nggak terlalu sayang juga ngabisin uang untuk jurnal kosong, hihi. Dan saran dari ahli perbujoan, pilih jenis kertanya yang dotted alias titik-titik, supaya bikin garis-garis kotak untuk layout-nya lebih mudah. Terus, nanti ditulisnya juga lebih rapi.


Setelah jurnalnya sampai, jujur aku bingung... gue harus ngapain, ya? Hahahaha

Untuk pertolongan pertama, aku langsung tanya sahabatku how to start my very own bujo. Nggak lupa dia juga memberikan contoh layout yang selama ini dia pakai. barangkali aku bisa contek dikit.

Aku juga nonton beberapa channel Youtube tentang bujo (favoritku AmandaRachLee) supaya ada ide untuk mengisi jurnalku yang masih kosong ini. Setelah nonton beberapa video, searching di Pinterest juga dengan kata kunci "minimalist bujo" karena aku mager gambar-gambar, akhinya jadi dehhh halaman pertama bujoku.

Karena aku nggak bisa doodles, akhirnya aku tempel stiker aja supaya lebih rame. Nyatanya tetap aja plain, hahahaha

Kebanyakan desain bujoku itu niru dari channel-nya si Amanda itu. Bedanya, ini versi ala-kadarnya karena aku cuma bermodal gel pen, stabilo dan pensil warna LOL 

Namun, apakah bujo itu hanya perkara gimana cara kita mendesain setiap halaman? Emang bujo itu sekedar gambar atau hias-hias cantik supaya bisa dipamerin di Instagram? 

TENTU SAJA TIDAK. 

Mengutip dari apa yang ditulis Sas di blognya, tentang gimana cara memulai bullet journal, adalah start it simple. Bukannya nggak boleh gambar-gambar, ya. Bujo itu customizable kok, jadi bebas banget mau diapain sesuai kreatifitas masing-masing. Yang perlu ditekankan, bullet journal  itu membantu kita membuat perencanaan yang fungsional, jadi urusan hias-menghias sebenarnya nggak terlalu penting. 

Setelah sebulan, dua bulan, tiga bulan berlalu, kok bujo ini ternyata menyenangkan, ya! Kegiatan planning jadi lebih seru karena tiap mendekati akhir bulan, aku udah harus mikir, "tema layout bulan depan mau kayak apa, ya?". Tanpa disadari, tau-tau udah akhir tahun dan dengan berat hati aku harus farewell dengan bullet journal pertamaku.

Karena 2020 aku nggak berencana untuk bujo lagi (mungkin tahun depan lagi deh!), aku ingin sharing dikit pengalamanku sendiri tentang bujo selama setahun kemarin. Siapa tau setelah ini ada yang penasaran pengen coba bujo juga.

1. Bebas bisa 'menciptakan' jurnal yang kita inginkan. 


Ini salah satu alasan kenapa aku (akhirnya) betah bujo. Seperti yang kubilang, bujo itu customizable, kita bisa menambahkan kolom apapun yang kita mau dalam bujo kita. I don't hate my usual planner that I used before, tapi kita harus terima jadi sistem yang udah ada. Mau nambahin, halamannya nggak cukup.

Aku memang nggak kepingin bujoku ini hanya berfungsi sebagai catatan aktifitas sehari-hari. Aku juga ingin sekalian tracking beberapa kegiatan yang aku lakukan, misalnya kayak bulan ini baca buku apa, nonton film apa dan denger musik apa. Aku ingin ada kolom khusus untuk mengisi semuanya itu. Makanya, di awal tahun kemarin, aku cukup sering review film dan drakor karena aku tracking semuanya di bujo ini.

Selain itu, setengah tahun pertama aku rutin menulis "5 Things to be Grateful For" di tiap minggu. Nggak perlu dijelasin kali, yaa, pasti udah pada familiar dengan daftar ini.


Masuk bulan September, aku agak bosen dengan template hal-hal yang disyukuri ini. Bukannya nggak lagi bersyukur, ya, tapi pengen diganti aja formatnya yang kira-kira masih bisa memberikan makna yang sama. Nggak sengaja aku nemu blogpost-nya Kak Hanny yang membahas tentang daily highlight journal. Pada dasarnya, kita tulis hal-hal apa aja yang kita lakukan sepanjang hari (simple/mundane things), misalnya: bangun telat; bikin kopi; nganter Josh sekolah; jajan gorengan. 

Sejak aku rutin nulis daftar hal ini, tiap kali satu bulan berlalu, aku bisa reflect ke belakang tentang hal-hal apa aja yang udah dilewati. Aku juga bisa tau mood aku di hari-hari itu seperti apa; kadang ngetawain diri sendiri kok bisa, sih, hari ini hepi besoknya bete seharian, hahahaha.

Inti dari nulis highlight journal ini, kita bisa lebih paham dengan perasaan kita hari ke hari tuh seperti apa, how we may react differently each days. Kayak nulis diari tapi lebih pendek aja kalimatnya.

Btw, sarapan siomay sama pempek enak amat, ya. Pantes w nggak kurus-kurus tahun lalu. 

2. Karena seluruh isi bujo itu hasil goresan tangan sendiri, entah kenapa jadi lebih semangat untuk mengerjakan target harian maupun resolusi sepanjang tahun. 


Buat yang udah pernah bujo, ngerasa hal yang sama nggak, sih?

Menurut artikel yang pernah aku baca, salah satu manfaat menulis dengan tangan itu supaya kita belajar untuk fokus. Mungkin itu alasannya dengan nulis tangan, tanpa sadar jadi lebih terpacu (kuda kali ah pacu...) untuk menyelesaikan to-do list yang kita buat sendiri dan pastinya lebih produktif juga.

3. Membuat hidup jauh lebih teratur dan disiplin. 


Ini opini subjektif, yaa. Karena ada masanya juga aku males kok. Seringnya, sih, malah lebih teratur karena di bujo aku bisa melihat jelas apa aja yang harus segera dilakukan atau diselesaikan. Itu kenapa aku bilang sebelumnya setengah dari resolusi 2019 kemarin tercapai. semuanya berkat si bujo ini, huhuhu. Dan ketika salah satu goal kita tercapai, ada sensasi tersendiri saat mencoret goal tersebut sebagai tanda sudah selesai. Ntap banget!

Itu gambar pohon apa kursor komputer dah 

***
Kira-kira ini aja, sih, yang ingin aku bagikan dari pengalaman bujo selama setahun. Buat yang penasaran pengen coba tapi masih bingung, coba nonton channel-nya Amanda deh di Youtube. Atau mampir ke blognya Mbak Evva yang udah pro dalam hal perbujoan, dan juga blognya Kak Hanny, kebetulan banget dia baru aja nulis blogpost baru tentang bujo 2020 set-upyang mana bikin tergoda untuk bujo lagi, huhu.

Btw, kenapa aku nggak bujo dulu tahun ini, soalnya udah keburu dikadoin planner baru dari teman, terus aku sendiri nggak tahan banget untuk beli journal Chic & Darling yang kolab dengan Alodita. Yha, kali aja netijen ada yang penasaran makanya aku beri penjelasan LOL 😂

Selamat mencoba bujo, ya! Yang udah pernah dan sedang melakukan bujo, share pengalaman kalian dong, apa aja, sih, yang kalian dapatkan selama bujo? (: